Berita Sanggar Rebung Cendani
Minggu, 24 Oktober 2010
Joy of Sharing.....
Bale Baca – Sanggar Rebung Cendani terletak di pelosok kota Depok. Dirintis pada tahun 2002 oleh Josep Budisantoso (Mas Budi demikian kami panggil) bersama dengan beberapa orang kawannya. Menempati sebuah rumah sewaan yang kecil namun cukup asri karena dikelilingi oleh banyak tanaman peliharaan Mas Budi, Bale Baca terlihat ramah menyambut setiap orang yang datang ke sana.
Saat kami datang, anak-anak sedang asik bermain, terlihat ceria sekali suasananya. Awalnya malu-malu, namun tak lama kemudian buku-buku yang kami bawa, yaitu sumbangan dari anggota Vidya Sanggraha (http://www.facebook.com/group.php?gid=52909076351), langsung dibongkar dan dibaca beramai-ramai. Sungguh sangat mengharukan melihat antusiasme mereka dan kami benar-benar senang bisa menyaksikan keceriaan seperti itu.
Rata-rata 15-20 anak usia SD datang ke situ setiap harinya untuk bermain dan membaca buku. Mereka datang dari lingkungan sekitar, bahkan ada yang sampai berjalan kaki 5 km jauhnya untuk bisa ke situ. Sebetulnya animo membaca juga ada pada anak SMP dan SMA, namun karena tempatnya kecil maka terpaksa dibatasi.
Selain Mas Budi, ada seorang anak asuh yang dibiayai sekolahnya oleh Sanggar yang tinggal di situ. Daru namanya, bertugas membantu anak-anak tersebut dalam belajar membaca. Banyak anak yang tidak bisa menikmati sekolah TK karena mahalnya biaya, mulai belajar membaca di situ. Dan setiap akhir pekan, Bale Baca kedatangan relawan yang juga membantu membimbing mereka, mulai dari belajar menggambar sampai bahasa mandarin.
Untuk ke depannya, Mas Budi dkk bercita-cita mendirikan lagi bale baca sejenis di tempat-tempat yang lebih jauh lokasinya dan juga kalau ada dana yang cukup ingin mengusahakan mobil sebagai perpustakaan keliling supaya bisa menjangkau lebih banyak lagi anak-anak di pelosok. Masih banyak dibutuhkan buku-buku dan juga dana untuk bisa menyewa rumah yang lebih besar, sehingga bisa menampung anak lebih banyak lagi. Sungguh suatu cita-cita yang mulia yang harus kita dukung, sebagai peran serta kita dalam membantu mencerdaskan bangsa.
Mimpi Kami Tiga Tahun belakangan Ini .....
Selama perjalanan tujuh tahun lebih kami hadir menemani anak-anak di Desa Kalimulya, dan selama itu pula kami menyadari masih banyak anak tidak bisa terlayani dengan kegiatan Bale Baca. Dengan luas wilayah satu Kota Kelurahan (Desa) dengan jarak satu dengan yang lain sangat berjauhan menjadi sesuatu yang sangat melelahkan untuk anak yang mau membaca buku di Sanggar begitu pula keterbatasan tenaga pendamping untuk dapat melayani dengan maksimal. Kami pernah bermimpi bisa memiliki Mobil Bale Baca keliling. Dengan kendaraan itu kami bisa melayani anak-anak yang jaraknya sangat jauh. Bagi kami mimpi itu menjadi sebuah kerinduan, entah kapan kami bisa memiliki Mobil Bale Baca, sehingga bisa hadir di antara anak-anak dengan membawa buku bacaan yang bermutu baik....
Delapan Tahun Lebih Kami ....
Sejak 12 Januari 2001 kami mulai membuat pendampingan anak desa di pinggiran kota Depok, kenapa harus Depok ? Masyarakat Depok sebelum menjadi kota penyanggah dari Jakarta merupakan daerah agroforestry - berkebun dan bertani menjadi pekerjaan masyarakat. Dengan perubahan desa menjadi kota bukan tidak membawa dampak banyak bagi warganya, termasuk warga pendatang yang mau mencoba mengadu nasip dengan bekerja di sektor industri (buruh pabrik). Sanggar Rebung Cendani hadir di pinggiran kota Depok mau melayani anak yang justru saat ini hanya menjadi penonton perubahan kota Depok. Hanya itu yang mereka bisa. Di Depok memang banyak sekolah mahal, yang menurut banyak orang itu sekolah bagus. Bagaimana dengan anak-anak di lingkungan Sanggar Rebung Cendani, apakah mereka bisa mengalami pendidikan di sekolah yang mahal itu? Jawabannya tidak mungkin.
Kehadiran Bale Baca - Sanggar Rebung Cendani bukannya ingin mengambil alih tanggungjawab peran orangtua dan pemerintah kota, tetapi lebih menjadi penyeimbang dari situasi tidak mungkin menjadi mungkin. Artinya sekolah yang baik tentu didukung oleh kegiatan perpustakaan yang memadai, sedangkan anak-anak yang sekolah di sekolahan yang "biasa-biasa" saja tidak mungkin didukung dengan perpustakaan yang memadai (hanya berisi buku pelajaran). Selama ini kegiatan Bale Baca menyediakan buku-buku dengan katagori buku bagus (gambar, warna, kertas, dan jenis huruf) dengan harga lumayan mahal. Hanya dengan cara itu diharapkan anak tertarik untuk melihat-lihat, membuka-buka, dan membaca. Suatu perjuangan yang cukup panjang dan melelahkan.
Saat ini kami merasa terhibur dengan kehadiran anak yang cukup konsisten rata-rata 20 anak rutin datang untuk membaca buku. Disamping itu Sanggar Rebung Cendani sebagai penyelenggara Bale Baca (Taman Bacaan Anak) tidak hanya sebatas menyediakan buku tetapi juga mengajak anak untuk bereksplorasi keluar lingkungan desa. Dari kegiatan eksplorasi anak juga menemukan apa yang mereka baca dengan kenyataan sehari-hari dan diharapkan menummbuhkan "mimpi" tentang masa depan yang lebih baik dari apa yang mereka baca dan mereka lihat.
Kehadiran Bale Baca - Sanggar Rebung Cendani bukannya ingin mengambil alih tanggungjawab peran orangtua dan pemerintah kota, tetapi lebih menjadi penyeimbang dari situasi tidak mungkin menjadi mungkin. Artinya sekolah yang baik tentu didukung oleh kegiatan perpustakaan yang memadai, sedangkan anak-anak yang sekolah di sekolahan yang "biasa-biasa" saja tidak mungkin didukung dengan perpustakaan yang memadai (hanya berisi buku pelajaran). Selama ini kegiatan Bale Baca menyediakan buku-buku dengan katagori buku bagus (gambar, warna, kertas, dan jenis huruf) dengan harga lumayan mahal. Hanya dengan cara itu diharapkan anak tertarik untuk melihat-lihat, membuka-buka, dan membaca. Suatu perjuangan yang cukup panjang dan melelahkan.
Saat ini kami merasa terhibur dengan kehadiran anak yang cukup konsisten rata-rata 20 anak rutin datang untuk membaca buku. Disamping itu Sanggar Rebung Cendani sebagai penyelenggara Bale Baca (Taman Bacaan Anak) tidak hanya sebatas menyediakan buku tetapi juga mengajak anak untuk bereksplorasi keluar lingkungan desa. Dari kegiatan eksplorasi anak juga menemukan apa yang mereka baca dengan kenyataan sehari-hari dan diharapkan menummbuhkan "mimpi" tentang masa depan yang lebih baik dari apa yang mereka baca dan mereka lihat.
SEMANGATNYA MEMBANGUNKAN PAGI
(TAHUN 2010, TAHUN BUKU)
Aku mempunyai sahabat yang sangat baik. Dia selalu bersama denganku. Dikala aku bersedih, dia yang membuatku bahagia…. Beberapa kalimat itu adalah hasil
tulisan dari salah seorang anak yang ikut dalam kegiatan Ayo Baca Buku yang diselenggarakan Sanggar Rebung Cendani. Setiap minggu pagi semenjak awal tahun 2010 ini, 8-10 anak berkumpul untuk mengikuti kegiatan yang diadakan dengan tujuan untuk semakin meningkatkan minat baca pada anakanak. Kegiatan ini dikemas dalam bentuk
lomba di mana para peserta mempersiapkannya pada satu minggu sebelumnya. Tema lomba dalam setiap minggu berbeda-beda. Di antaranya, tentang sahabat, binatang, tanaman, tokohtokoh yang disukai dan tidak disukai dalam buku cerita, dan sebagainya. Selain mengajak anak-anak untuk semakin cinta membaca, kegiatan ini juga diharapkan dapat melatih kemampuan anak untuk menulis, melatih keberanian anak untuk berbicara di depan umum, merangsang kreativitas, menjadi salah satu sarana anak untuk berekspresi, dan tidak ketinggalan melatih anak untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka. Setiap minggu ada saja hal lucu dan menarik yang terjadi. Kata-kata
luar biasa dan tak terduga bisa meluncur begitu saja dari mulut mungil anakanak itu….. Seperti bintang bersinar yang berpijar….. Begitu salah seorang anak kelas 2 SD menggambarkan kegembiraannya. Dalam setiap lomba, setiap anak sepertinya menikmati “sensasi” perjuangan yang ada. “Kak, jantung saya deg-degan,” ujar salah seorang anak ketika menanti pengumuman sang juara. Dan, ketika tidak berada dalam
jejeran sang juara, mereka tetap bersemangat. “Minggu depan kita baca apa,
Kak?” Minggu depannya, ketika hari masih pagi dan udara masih dingin,
Bakar Ayam untuk Smart & Nature Lover Kids Writing Club
“Put, ayo kita musyawarah dulu.”
Segera beberapa anak berlari menuju sanggar dan mereka pun langsung serius membicarakan sesuatu. Selidik punya selidik ternyata mereka sedang membicarakan tentang SMART & NATURE LOVER KIDS WRITING CLUB, kelompok menulis yang sudah sejak beberapa bulan lalu berjalan di Sanggar Rebung. Rencananya, mereka akan menyisihkan uang jajan untuk membuat kaos de-ngan logo kelompok menulis yang baru mereka beri nama itu.
Semenjak nama kelompok menulis itu tercipta pada 23 Mei 2010, anak-anak memang terlihat semakin bersemangat. Nama dan logo kelompok menulis itu pun mereka sendiri yang menciptakan. Hanya saja logo sedang diperbaiki.
Bukan hanya soal kaos, anak-anak juga memilih ketua, wakil ketua, sekretaris, dan bendahara dari SMART & NATURE LOVER KIDS WRITING CLUB ini. Berikut susunannya.
Ketua: Chandra Saputra (3 SD)
Wakil: Rizki Fadilah (5 SD)
Sekretaris: Sri Anjani Pramono (4 SD)
Bendahara: Putri Camelia (4 SD)
Anggota:
1. Iis Nurjanah (3 SD)
2. Putri Aulia Nabita (3 SD)
3. Muhammad Apri (2 SD)
4. Nurul Fadlah (4 SD)
5. Irma (3 SD)
Semakin hari, anak-anak yang tergabung dalam kelompok menulis ini juga semakin kompak. Pada malam, 5 Juni 2010, mereka mengadakan kegiatan bakar ayam di rumah salah satu anak. “Mmm… dalam rangka merayakan klub,” kata Kiki alias Rizki. Dananya, lagi-lagi, dari hasil menyisihkan uang jajan masing-masing anak dan ini adalah inisiatif dari mereka sendiri.
Setiap anak sepertinya punya mimpi dengan kelompok menulis ini. Chandra terobsesi memenangi juara pertama dalam lomba yang diadakan kelompok menulis ini hingga 10 kali. Alasannya, ia ingin diajak ikut serta naik gunung atau paralayang. Kiki lain lagi, anak kelas 5 SD punya mimpi ingin bisa semakin mahir dalam menulis. Mimpi-mimpi yang semoga menjadi kenyataan. Siapa tahu dari anak-anak-anak ini akan muncul penulis-penulis yang mumpuni. Amin.
Sabtu, 23 Oktober 2010
Kopdit ramah anak
Menjelang akhir tahun 2008, warga Jakarta dan sekitarnya dikejutkan oleh peraturan baru yang diluncurkan oleh pemprov DKI Jakarta. Intinya, semua sekolah harus mengawali jam belajarnya pada pukul 06.30. Dalam sekejap mata peraturan ini menjadi kontroversi. Pemprov berasumsi, dengan mempercepat waktu belajar, tentunya anak-anak berangkat lebih pagi dan jumlah kemacetan di kota Jakarta akan berkurang. Sebaliknya, sebagian besar orang tua dan pegiat LSM memprotes, karena itu sama saja dengan mengorbankan anak-anak yang saat ini sudah menanggung beban kurikulum yang berat dan harus tidur larut malam untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Mengapa anak yang harus “dikorbankan” untuk uji coba mengatasi satu masalah? Bukankah masalah kemacetan di Jakarta lebih banyak disebabkan oleh pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang tidak sebanding dengan pertambahan jumlah ruas jalan?
Lantas, apa hubungannya dengan kopdit?
Merujuk pada rumusan yang menjelaskan istilah “kota ramah anak” di atas, dapat dilihat bahwa anak pun memiliki hak untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial masyarakat, memperoleh dan memiliki akses terhadap semua bentuk pelayanan publik (termasuk keuangan tentunya). Yang perlu direfleksikan, sudahkah pelayanan-pelayanan keuangan (bank dan non bank, termasuk kopdit) mencerminkan sifat ramah anak tersebut?
Menurut hemat penulis, untuk mewujudkan hal tersebut, setidaknya ada 4 faktor yang perlu diperhatikan. Pertama, sarana pelayanan di kopdit itu sendiri. Apakah seorang anak berusia 6 tahun dengan tinggi sekitar 100 cm bisa dengan nyaman mau menyetorkan tabungan di meja kasir yang tingginya 1,5 kali tinggi badannya? Apakah kopdit memiliki ruang kerja yang bersih, nyaman, dan sehat yang layak bagi anggota yang datang bersama anaknya? Apakah tersedia ruang tunggu atau ruang antrian dimana anak bisa merasa nyaman duduk disana menunggu orang tuanya bertransaksi atau justru menunggu antrian untuk menabung? Apakah tersedia air minum matang atau susu sehat bagi anak yang antri menunggu atau justru snack yang banyak mengandung bahan-bahan kimiawi yang justru tidak layak dikonsumsi anak? Sarana-sarana fisik sederhana inilah yang merupakan tampilan awal untuk melihat nuansa kopdit yang ramah anak. Intinya, sarana yang bisa diakses secara aman, nyaman, dan sehat bagi anak. Silakan bandingkan dengan contoh sederhana yang bisa dilihat pada outlet-outlet cepat saji McDonald atau A&W yang menyediakan wastafel khusus yang bisa dijangkau anak untuk mencuci tangannya sendiri.
Kedua, pelayanan kopdit. Apakah para pengurus dan karyawan kopdit memiliki kepekaan yang tinggi terhadap anak dan kebutuhannya? Sudahkah melayani dengan senyum dan sapa? Sudahkah anak merasa nyaman ketika berinteraksi dengan karyawan kopdit atau justru mereka malas datang ke kopdit? Ini dikembalikan pada semangat pelayanan dari setiap karyawan kopdit. Dalam pembekalan-pembekalan mengenai pemasaran dan pelayanan, perlu juga ditekankan bahwa anak juga merupakan sosok yang dilayani. Hari ini atau mungkin pada masa yang akan datang ketika mereka sudah tumbuh dewasa.
Ketiga, pengembangan program-program yang diakses langsung oleh anak. Adakah program-program khusus anak seperti tabungan yang bisa mereka ikuti. Sejauh mana program tabungan itu menarik buat anak, misalnya dengan membuat buku tabungan yang menarik atau penyediaan bonus permainan edukatif? Program semacam ini juga potensial disatukan dengan paket pembelajaran untuk anak, misalnya tentang pendidikan keuangan dini. Jadi terdapat isu pendidikan selain menabung, misalkan tentang kepekaan sosial, kesadaran lingkungan, kepemimpinan, kerja sama, pluralitas, demokrasi, dan lain-lain. Ini bisa menjadi bagian dari tanggung jawab sosial kopdit (credit union social responsibility) yang masih sejalan dengan kegiatan inti (core business) kopdit dan tentunya masih berada di atas rel prinsip kopdit. Satu contoh positif dapat dilihat dalam bentuk lain. Para anggota sebuah lembaga keuangan mikro (LKM) di Kupang (NTT) bersepakat untuk tidak mengambil deviden akhir tahun, melainkan menempatkannya sebagai dana beasiswa bagi pendidikan anak-anak mereka.
Faktor keempat yang tak kalah pentingnya ialah partisipasi aktif orang tua (yang sangat mungkin adalah anggota kopdit) untuk mendorong dan melibatkan anaknya dalam kegiatan-kegiatan kopdit, khususnya menabung. Orang tua dan keluarga merupakan kunci penting dan gerbang pertama dalam pendidikan anak untuk membentuk kesadaran sosial dan finansial mereka. Pondasi untuk membentuk keluarga yang sejahtera bisa dimulai sejak dini. Peran yang bisa dijalankan kopdit ialah memfasilitasi orang tua untuk memperoleh pemahaman dan trik-trik dalam melakukan pendidikan keuangan dini bagi anak, yang dilakukan secara ceria, nyaman, tanpa paksaan, dan berkelanjutan.
Dengan perkembangan gerakan kopdit yang begitu progresif sekarang, perspektif kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan telah menjadi perhatian. Tak dapat dipungkiri pula, bahwa anak yang merupakan sosok paling rentan dalam keluarga juga perlu memperoleh perhatian yang sama. Karena, mereka jugalah tunas-tunas masa depan gerakan kopdit. Setuju?
Artikel dimuat di Buletin Kopdit Melati - Depok no. 10/Tahun IX/17 Desember 2008-17 Januari 2009
Penulis adalah relawan Sanggar Rebung dan anggota Kopdit Melati-Depok
Kopdit ramah anak
Menjelang akhir tahun 2008, warga Jakarta dan sekitarnya dikejutkan oleh peraturan baru yang diluncurkan oleh pemprov DKI Jakarta. Intinya, semua sekolah harus mengawali jam belajarnya pada pukul 06.30. Dalam sekejap mata peraturan ini menjadi kontroversi. Pemprov berasumsi, dengan mempercepat waktu belajar, tentunya anak-anak berangkat lebih pagi dan jumlah kemacetan di kota Jakarta akan berkurang. Sebaliknya, sebagian besar orang tua dan pegiat LSM memprotes, karena itu sama saja dengan mengorbankan anak-anak yang saat ini sudah menanggung beban kurikulum yang berat dan harus tidur larut malam untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Mengapa anak yang harus “dikorbankan” untuk uji coba mengatasi satu masalah? Bukankah masalah kemacetan di Jakarta lebih banyak disebabkan oleh pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang tidak sebanding dengan pertambahan jumlah ruas jalan?
Boleh dikatakan, bahwa peraturan yang dikeluarkan Pemprov DKI tersebut potensial berlawanan dengan upaya menciptakan “sekolah ramah anak” dan “lingkungan yang ramah anak”. “Lingkungan yang ramah anak” atau (ide awalnya) “child-friendly city” (kota ramah anak) merupakan gagasan untuk mewadahi sebuah lingkungan yang secara aktif mendukung anak (definisi “anak” adalah mereka yang berusia 0-18 tahun sesuai dengan Konvensi Hak Anak yang diadopsi pula dalam UU Perlindungan Anak No. 23/Th. 2002) dalam pemenuhan dan perlindungan hak-haknya untuk ikut berperan dalam pengambilan keputusan menyangkut kotanya, mengekspresikan pendapat mereka akan kota yang diinginkan, berpartisipasi dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan sosial, menerima pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan, akses ke air bersih dan sanitasi yang higienis, terlindungi dari eksploitasi, kekerasan dan penganiayaan, rasa aman di jalan, bertemu teman dan bermain, memiliki ruang hijau untuk tanaman dan peliharaan, hidup di lingkungan tanpa polusi, berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan budaya, menjadi warga kota yang sama kedudukannya dan memiliki akses yang sama terhadap semua pelayanan publik, tanpa memandang asal-usul, agama dan kepercayaan, pendapatan, gender, atau keterbatasan fisik dan mental. Ide ini awalnya digagas oleh UNICEF, badan internasional PBB yang berfokus pada pendidikan dan kesehatan anak.
Gagasan besar kota layak anak telah diusung oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan diinisiasi oleh Meneg PP dengan menjadikan 15 kota/kabupaten di Indonesia sebagai percontohan kota ramah atau layak anak (2006/2007). Gagasan besar ini juga diadopsi dalam arena yang lebih mikro, yakni bidang pendidikan. Dimana-mana telah bertebaran upaya untuk mewujudkan sekolah ramah anak (child-friendly school), dimana didalamnya pendidikan berjalan lebih manusiawi, tidak ada lagi kekerasan dan pelecehan seksual di sekolah, tidak ada bangunan fisik yang rawan buat anak. Di manca negara, paradigma ramah anak telah merasuk di berbagai sektor. Ini terlihat dengan adanya restoran ramah anak, dokter gigi ramah anak, dan sebagainya. Ternyata ini juga menjadi bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap pelanggannya serta meningkatkan kinerja pemasaran mereka.
Lantas, apa hubungannya dengan kopdit?
Merujuk pada rumusan yang menjelaskan istilah “kota ramah anak” di atas, dapat dilihat bahwa anak pun memiliki hak untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial masyarakat, memperoleh dan memiliki akses terhadap semua bentuk pelayanan publik (termasuk keuangan tentunya). Yang perlu direfleksikan, sudahkah pelayanan-pelayanan keuangan (bank dan non bank, termasuk kopdit) mencerminkan sifat ramah anak tersebut?
Menurut hemat penulis, untuk mewujudkan hal tersebut, setidaknya ada 4 faktor yang perlu diperhatikan. Pertama, sarana pelayanan di kopdit itu sendiri. Apakah seorang anak berusia 6 tahun dengan tinggi sekitar 100 cm bisa dengan nyaman mau menyetorkan tabungan di meja kasir yang tingginya 1,5 kali tinggi badannya? Apakah kopdit memiliki ruang kerja yang bersih, nyaman, dan sehat yang layak bagi anggota yang datang bersama anaknya? Apakah tersedia ruang tunggu atau ruang antrian dimana anak bisa merasa nyaman duduk disana menunggu orang tuanya bertransaksi atau justru menunggu antrian untuk menabung? Apakah tersedia air minum matang atau susu sehat bagi anak yang antri menunggu atau justru snack yang banyak mengandung bahan-bahan kimiawi yang justru tidak layak dikonsumsi anak? Sarana-sarana fisik sederhana inilah yang merupakan tampilan awal untuk melihat nuansa kopdit yang ramah anak. Intinya, sarana yang bisa diakses secara aman, nyaman, dan sehat bagi anak. Silakan bandingkan dengan contoh sederhana yang bisa dilihat pada outlet-outlet cepat saji McDonald atau A&W yang menyediakan wastafel khusus yang bisa dijangkau anak untuk mencuci tangannya sendiri.
Kedua, pelayanan kopdit. Apakah para pengurus dan karyawan kopdit memiliki kepekaan yang tinggi terhadap anak dan kebutuhannya? Sudahkah melayani dengan senyum dan sapa? Sudahkah anak merasa nyaman ketika berinteraksi dengan karyawan kopdit atau justru mereka malas datang ke kopdit? Ini dikembalikan pada semangat pelayanan dari setiap karyawan kopdit. Dalam pembekalan-pembekalan mengenai pemasaran dan pelayanan, perlu juga ditekankan bahwa anak juga merupakan sosok yang dilayani. Hari ini atau mungkin pada masa yang akan datang ketika mereka sudah tumbuh dewasa.
Ketiga, pengembangan program-program yang diakses langsung oleh anak. Adakah program-program khusus anak seperti tabungan yang bisa mereka ikuti. Sejauh mana program tabungan itu menarik buat anak, misalnya dengan membuat buku tabungan yang menarik atau penyediaan bonus permainan edukatif? Program semacam ini juga potensial disatukan dengan paket pembelajaran untuk anak, misalnya tentang pendidikan keuangan dini. Jadi terdapat isu pendidikan selain menabung, misalkan tentang kepekaan sosial, kesadaran lingkungan, kepemimpinan, kerja sama, pluralitas, demokrasi, dan lain-lain. Ini bisa menjadi bagian dari tanggung jawab sosial kopdit (credit union social responsibility) yang masih sejalan dengan kegiatan inti (core business) kopdit dan tentunya masih berada di atas rel prinsip kopdit. Satu contoh positif dapat dilihat dalam bentuk lain. Para anggota sebuah lembaga keuangan mikro (LKM) di Kupang (NTT) bersepakat untuk tidak mengambil deviden akhir tahun, melainkan menempatkannya sebagai dana beasiswa bagi pendidikan anak-anak mereka.
Faktor keempat yang tak kalah pentingnya ialah partisipasi aktif orang tua (yang sangat mungkin adalah anggota kopdit) untuk mendorong dan melibatkan anaknya dalam kegiatan-kegiatan kopdit, khususnya menabung. Orang tua dan keluarga merupakan kunci penting dan gerbang pertama dalam pendidikan anak untuk membentuk kesadaran sosial dan finansial mereka. Pondasi untuk membentuk keluarga yang sejahtera bisa dimulai sejak dini. Peran yang bisa dijalankan kopdit ialah memfasilitasi orang tua untuk memperoleh pemahaman dan trik-trik dalam melakukan pendidikan keuangan dini bagi anak, yang dilakukan secara ceria, nyaman, tanpa paksaan, dan berkelanjutan.
Dengan perkembangan gerakan kopdit yang begitu progresif sekarang, perspektif kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan telah menjadi perhatian. Tak dapat dipungkiri pula, bahwa anak yang merupakan sosok paling rentan dalam keluarga juga perlu memperoleh perhatian yang sama. Karena, mereka jugalah tunas-tunas masa depan gerakan kopdit. Setuju?
Artikel dimuat di Buletin Kopdit Melati - Depok no. 10/Tahun IX/17 Desember 2008-17 Januari 2009. Artikel juga bisa disimak di http://rumahditto.blogspot.com/
Penulis adalah relawan Sanggar Rebung dan anggota Kopdit Melati-Depok
Langganan:
Postingan (Atom)